Melalui teorinya Erikson memberikan sesuatu yang
baru dalam mempelajari mengenai perilaku manusia dan merupakan suatu pemikiran
yang sangat maju guna memahami persoalan/masalah psikologi yang dihadapi oleh
manusia pada jaman modern seperti ini. Oleh karena itu, teori Erikson banyak
digunakan untuk menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang terkait dengan
tahap perkembangan, baik anak, dewasa, maupun lansia.
Erikson dalam membentuk teorinya secara baik,
sangat berkaitan erat dengan kehidupan pribadinya dalam hal ini mengenai
pertumbuhan egonya. Erikson berpendapat bahwa pandangan-pandangannya sesuai
dengan ajaran dasar psikoanalisis yang diletakkan oleh Freud. Jadi dapat
dikatakan bahwa Erikson adalah seorang post-freudian atau neofreudian. Akan
tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan kebudayaan. Hal ini
terjadi karena dia adalah seorang ilmuwan yang punya ketertarikan terhadap
antropologis yang sangat besar, bahkan dia sering meminggirkan masalah insting
dan alam bawah sadar. Oleh sebab itu, maka di satu pihak ia menerima konsep
struktur mental Freud, dan di lain pihak menambahkan dimensi sosial-psikologis
pada konsep dinamika dan perkembangan kepribadian yang diajukan oleh Freud.
Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi
antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan
sosial. Tampak dengan jelas bahwa yang dimaksudkan dengan psikososial apabila
istilah ini dipakai dalam kaitannya dengan perkembangan. Secara khusus hal ini
berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh
pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi
matang secara fisik dan psikologis. Sedangkan konsep perkembangan yang diajukan
dalam teori psikoseksual yang menyangkut tiga tahap yaitu oral, anal, dan
genital, diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian rupa sehingga
dimasukkannya cara-cara dalam mana hubungan sosial individu terbentuk dan
sekaligus dibentuk oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap tahapnya.
Delapan Tahapan Perkembangan Anak Menurut
Erik Erikson
Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)
Masa bayi (infancy) ditandai adanya kecenderungan
trust-mistrust. Perilaku bayi didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak
mempercayai orang-orang di sekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai orang tuanya,
tetapi orang yang dianggap asing dia tidak akan mempercayainya. Oleh karena itu
kadang-kadang bayi menangis bila di pangku oleh orang yang tidak dikenalnya. Ia
bukan saja tidak percaya kepada orang-orang yang asing tetapi juga kepada benda
asing, tempat asing, suara asing, perlakuan asing dan sebagainya. Kalau menghadapi situasi-situasi
tersebut seringkali bayi menangis.
Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira
terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini
adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan
untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik
apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan
tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat membuang
kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu
memiliki peranan yang secara kwalitatif sangat menentukan perkembangan kepribadian
anaknya yang masih kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa hangat dan
dekat, konsistensi dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu akan
mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial sebagai
suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada didalamnya
dapat dipercaya dan saling menyayangi. Kepuasaan yang dirasakan oleh seorang
bayi terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan menimbulkan rasa aman,
dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang dewasa tersebut bayi
belajar untuk mengantungkan diri dan percaya kepada mereka. Hasil dari adanya
kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya serta juga
mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespon secara tepat terhadap
lingkungannya.
Sebaliknya, jika seorang ibu tidak dapat
memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa hangat dan
nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling dari
kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan
lebih mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang
lain.
Hal ini jangan dipahami bahwa peran sebagai
orangtua harus serba sempurna tanpa ada kesalahan/cacat. Karena orangtua yang
terlalu melindungi anaknya pun akan menyebabkan anak punya kecenderungan
maladaptif. Erikson menyebut hal ini dengan sebutan salah penyesuaian indrawi.
Orang yang selalu percaya tidak akan pernah mempunyai pemikiran maupun anggapan
bahwa orang lain akan berbuat jahat padanya, dan akan memgunakan seluruh
upayanya dalam mempertahankan cara pandang seperti ini. Dengan kata lain,mereka
akan mudah tertipu atau dibohongi. Sebaliknya, hal terburuk dapat terjadi
apabila pada masa kecilnya sudah merasakan ketidakpuasan yang dapat mengarah
pada ketidakpercayaan. Mereka akan berkembang pada arah kecurigaan dan merasa
terancam terus menerus. Hal
ini ditandai dengan munculnya frustasi, marah, sinis, maupun depresi.
Pada dasarnya setiap manusia pada tahap ini tidak
dapat menghindari rasa kepuasan namun juga rasa ketidakpuasan yang dapat
menumbuhkan kepercayaan dan ketidakpercayaan. Akan tetapi, hal inilah yang akan
menjadi dasar kemampuan seseorang pada akhirnya untuk dapat menyesuaikan diri
dengan baik. Di mana setiap individu perlu mengetahui dan membedakan kapan
harus percaya dan kapan harus tidak percaya dalam menghadapi berbagai tantangan
maupun rintangan yang menghadang pada perputaran roda kehidupan manusia tiap
saat.
Adanya perbandingan yang tepat atau apabila
keseimbangan antara kepercayaan dan ketidakpercayaan terjadi pada tahap ini
dapat mengakibatkan tumbuhnya pengharapan. Nilai lebih yang akan berkembang di
dalam diri anak tersebut yaitu harapan dan keyakinan yang sangat kuat bahwa
kalau segala sesuatu itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, tetapi mereka
masih dapat mengolahnya menjadi baik.
Pada aspek lain dalam setiap tahap perkembangan
manusia senantiasa berinteraksi atau saling berhubungan dengan pola-pola
tertentu (ritualisasi). Oleh sebab itu, pada tahap ini bayi pun mengalami
ritualisasi di mana hubungan yang terjalin dengan ibunya dianggap sebagai
sesuatu yang keramat (numinous). Jika hubungan tersebut terjalin dengan baik,
maka bayi akan mengalami kepuasan dan kesenangan tersendiri. Selain itu,
Alwisol berpendapat bahwa numinous ini pada akhirnya akan menjadi dasar
bagaimana orang menghadapi/berkomunikasi dengan orang lain, dengan penuh
penerimaan, penghargaan, tanpa ada ancaman dan perasaan takut. Sebaliknya,
apabila dalam hubungan tersebut bayi tidak mendapatkan kasih sayang dari
seorang ibu akan merasa terasing dan terbuang, sehingga dapat terjadi suatu
pola kehidupan yang lain di mana bayi merasa berinteraksi secara interpersonal
atau sendiri dan dapat menyebabkan adanya idolism (pemujaan). Pemujaan
ini dapat diartikan dalam dua arah yaitu anak akan memuja dirinya sendiri, atau
sebaliknya anak akan memuja orang lain.
Autonomy vs Shame and doubt (Otonomi vs
Perasaan Malu dan Ragu-ragu)
Masa kanak-kanak awal (early childhood) ditandai
adanya kecenderungan autonomy – shame, doubt. Pada masa ini sampai batas-batas
tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam arti duduk, berdiri, berjalan,
bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di
pihak lain dia telah mulai memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat,
sehingga seringkali minta pertolongan atau persetujuan dari orang tuanya.
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot
(anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung
mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan
pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan
malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan
orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan
suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya
bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan
ragu-ragu. Dengan kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh anaknya sangat
memperhatikan anaknya dalam aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan seorang
anak yang menginjak usia balita untuk dapat mengeksplorasikan dan mengubah
lingkungannya, anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau
ketidaktergantungan. Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk
mengontrol tubuhnya, sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau
perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman baru yang berorientasi pada
suatu tindakan/kegiatan yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol
diri sendiri dan juga untuk menerima control dari orang lain. Misalnya, saat
anak belajar berjalan, memegang tangan orang lain, memeluk, maupun untuk
menyentuh benda-benda lain.
Di lain pihak, anak dalam perkembangannya pun
dapat menjadi pemalu dan ragu-ragu. Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang
gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, sehingga anak akan mudah menyerah
karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak
sendirian.
Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak
perlu mengobarkan keberanian anak dan tidak pula harus mematikannya. Dengan
kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada sebuah kalimat yang
seringkali menjadi teguran maupun nasihat bagi orang tua dalam mengasuh anaknya
yakni “tegas namun toleran”. Makna dalam kalimat tersebut ternyata benar
adanya, karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri
dan harga diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan
memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya
perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap maladaptif yang disebut
Erikson sebagai impulsiveness (terlalu menuruti kata hati), sebaliknya
apabila seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu juga tidak
baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang disebut
Erikson compulsiveness. Sifat inilah yang akan membawa anak selalu
menganggap bahwa keberadaan mereka selalu bergantung pada apa yang mereka
lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan secara sempurna. Apabila
tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka tidak dapat menghindari suatu
kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu dan ragu-ragu.
Jikalau dapat mengatasi krisis antara kemandirian
dengan rasa malu dan ragu-ragu dapat diatasi atau jika diantara keduanya
terdapat keseimbangan, maka nilai positif yang dapat dicapai yaitu adanya suatu
kemauan atau kebulatan tekad. Meminjam kata-kata dari Supratiknya yang menyatakan
bahwa “kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima peraturan hukum
dan kewajiban”.
Ritualisasi yang dialami oleh anak pada tahap ini
yaitu dengan adanya sifat bijaksana dan legalisme. Melalui tahap ini
anak sudah dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat menilai mana yang salah
dan mana yang benar dari setiap gerak atau perilaku orang lain yang disebut
sebagai sifat bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola pengasuhan terdapat
penyimpangan maka anak akan memiliki sikap legalisme yakni merasa puas apabila
orang lain dapat dikalahkan dan dirinya berada pada pihak yang menang sehingga
anak akan merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada penerapannya menurut
Alwisol mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa ampun, dan tanpa rasa
belas kasih.
Initiative vs Guilt (Inisiatif vs Kesalahan)
Masa pra sekolah (Preschool Age) ditandai
adanya kecenderungan initiative-guilty. Pada masa ini anak telah memiliki
beberapa kecakapan, dengan kecakapan-kecakapan tersebut dia terdorong melakukan
beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak tersebut masih terbatas
adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan
dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak mau
berinisatif atau berbuat.
Tahap ketiga ini juga dikatakan sebagai tahap
kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap
bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3
sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini
ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan
kesalahan. Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar
dan mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta mempelajari
kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki tujuan. Dikarenakan sikap
inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi
nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan cara
mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi, semuanya
akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital ini mengalami hambatan
karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi dirinya
yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka seringkali akan merasa bersalah
atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa yang
mereka rasakan dan lakukan.
Ketidakpedulian (ruthlessness) merupakan
hasil dari maladaptif yang keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki sikap
inisiatif yang berlebihan namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki sikap
inisiatif sangat pandai mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai suatu
rencana baik itu mengenai sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli
terhadap pendapat orang lain dan jika ada yang menghalangi rencananya apa dan
siapa pun yang harus dilewati dan disingkirkan demi mencapai tujuannya itu.
Akan tetapi bila anak saat berada pada periode mengalami pola asuh yang salah
yang menyebabkan anak selalu merasa bersalah akan mengalami malignansi yaitu
akan sering berdiam diri (inhibition). Berdiam diri merupakan suatu
sifat yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk mencoba melakukan apa-apa,
sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan merasa terhindar dari suatu
kesalahan.
Kecenderungan atau krisis antara keduanya dapat
diseimbangkan, maka akan lahir suatu kemampuan psikososial adalah tujuan
(purpose). Selain itu, ritualisasi yang terjadi pada masa ini adalah masa
dramatik dan impersonasi. Dramatik dalam pengertiannya dipahami sebagai suatu
interaksi yang terjadi pada seorang anak dengan memakai fantasinya sendiri
untuk berperan menjadi seseorang yang berani. Sedangkan impersonasi dalam
pengertiannya adalah suatu fantasi yang dilakukan oleh seorang anak namun tidak
berdasarkan kepribadiannya. Oleh karena itu, rangakain kata yang tepat untuk
menggambarkan masa ini pada akhirnya bahwa keberanian, kemampuan untuk
bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan pemahaman mengenai keterbatasan dan
kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya.
Industry vs Inferiority (Kerajinan vs Inferioritas)
Masa Sekolah (School Age) ditandai adanya
kecenderungan industry–inferiority. Sebagai kelanjutan dari perkembangan tahap
sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di
lingkungannya. Dorongan untuk mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya
sangat besar, tetapi di pihak lain karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan
dan pengetahuannya kadang-kadang dia menghadapi kesukaran, hambatan bahkan
kegagalan. Hambatan dan
kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa rendah diri.
Tahap keempat ini dikatakan juga sebagai tahap
laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan
dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari
perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya
bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga
semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru
harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain
sebagainya.
Tingkatan ini menunjukkan adanya pengembangan
anak terhadap rencana yang pada awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun
berkembang seiring bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus dapat
diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam belajar. Anak pada usia ini
dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di
sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat
mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak dapat meraih sukses
karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), sehingga anak juga
dapat mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu, peranan orang tua maupun
guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada
usia seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak pada
umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih banyak bermain bersama
teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari peranan
orang tua maupun guru dalam mengontrol mereka. Kecenderungan maladaptif akan
tercermin apabila anak memiliki rasa giat dan rajin terlalu besar yang mana
peristiwa ini menurut Erikson disebut sebagai keahlian sempit. Di sisi lain
jika anak kurang memiliki rasa giat dan rajin maka akan tercermin malignansi
yang disebut dengan kelembaman. Mereka yang mengidap sifat ini oleh Alfred
Adler disebut dengan “masalah-masalah inferioritas”. Maksud dari pengertian
tersebut yaitu jika seseorang tidak berhasil pada usaha pertama, maka jangan
mencoba lagi. Usaha yang sangat baik dalam tahap ini sama seperti tahap-tahap
sebelumnya adalah dengan menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan
begitu ada nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap
pribadi yakni kompetensi.
Dalam lingkungan yang ada pola perilaku yang
dipelajari pun berbeda dari tahap sebelumnya, anak diharapkan mampu untuk
mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara maupun metode yang
standar, sehingga anak tidak terpaku pada aturan yang berlaku dan bersifat
kaku. Peristiwa tersebut biasanya dikenal dengan istilah formal.
Sedangkan pada pihak lain jikalau anak mampu mengerjakan segala sesuatu dengan
mempergunakan cara atau metode yang sesuai dengan aturan yang ditentukan untuk
memperoleh hasil yang sempurna, maka anak akan memiliki sikap kaku dan hidupnya
sangat terpaku pada aturan yang berlaku. Hal inilah yang dapat menyebabkan
relasi dengan orang lain menjadi terhambat. Peristiwa ini biasanya dikenal
dengan istilah formalism.
Identity vs Identify confusion (Identitas vs Kekacauan Identitas)
Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja),
yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Masa
Remaja (adolescence) ditandai adanya kecenderungan identity – Identity Confusion.
Sebagai persiapan ke arah kedewasaan didukung pula oleh kemampuan dan
kecakapan-kecakapan yang dimilikinya dia berusaha untuk membentuk dan
memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri yang khas dari dirinya. Dorongan
membentuk dan memperlihatkan identitasdiri ini, pada para remaja sering sekali
sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh
lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan. Dorongan pembentukan
identitas diri yang kuat di satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia kawan
dan toleransi yang besar terhadap kelompok sebayanya. Di antara kelompok sebaya
mereka mengadakan pembagian peran, dan seringkali mereka sangat patuh terhadap
peran yang diberikan kepada masing-masing anggota
Pencapaian identitas pribadi dan menghindari
peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini.
Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena
melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam
pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana
cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin
luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat
yang ada dalam lingkungannya. Masa pubertas terjadi pada tahap ini, kalau pada
tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka segenap
identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial secara
aku, sehingga pada tahap ini mereka sudah dapat melihat dan mengembangkan suatu
sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan dirinya bagi orang lain,
selain itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan bahwa mereka sudah
menjadi bagian dalam kehidupan orang lain. Semuanya itu terjadi karena mereka
sudah dapat menemukan siapakah dirinya. Identitas ego merupakan kulminasi
nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis. Dalam arti kata yang
lain pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada dalam tahap
pertama/bayi sampai seseorang berada pada tahap terakhir/tua. Oleh karena itu,
salah satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya
berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan anak
tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah
pergaulan dan struktur sosialnya, inilah yang disebut dengan identity confusion
atau kekacauan identitas.
Akan tetapi di sisi lain jika kecenderungan
identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan kekacauan identitas, maka mereka
tidak menyisakan sedikit ruang toleransi terhadap masyarakat yang bersama hidup
dalam lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif ini dengan sebutan
fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap bahwa
pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya, jika kekacauan
identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson menyebut
malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat ini
mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat akibatnya
mereka akan mencari identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari
kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima
dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya.
Kesetiaan akan diperoleh sebagi nilai positif
yang dapat dipetik dalam tahap ini, jikalau antara identitas ego dan kekacauan
identitas dapat berlangsung secara seimbang, yang mana kesetiaan memiliki makna
tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan standar yang berlaku di tengah
masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan, dan ketidakkonsistennya.
Ritualisasi yang nampak dalam tahap adolesen
ini dapat menumbuhkan ediologi dan totalisme.
Intimacy vs Isolation (Keintiman vs Isolasi)
Tahap pertama hingga tahap kelima sudah
dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa
dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun. Masa Dewasa Awal (Young
adulthood) ditandai adanya kecenderungan intimacy – isolation. Kalau pada masa
sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya, namun
pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar. Mereka sudah mulai selektif,
dia membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham.
Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan
orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya.
Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin
mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap
menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang
lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan
mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman
dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang
terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh
yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk
menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa
terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam
periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas,
sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa
tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat,
tetangga, bahkan dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara
dari segi lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu
kecenderungan orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta,
persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam
sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
Oleh sebab itu, kecenderungan antara keintiman
dan isoalasi harus berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai yang positif
yaitu cinta. Dalam konteks teorinya, cinta berarti kemampuan untuk
mengenyampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling
membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup
hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua, tetangga, sahabat,
dan lain-lain.
Ritualisasi yang terjadi pada tahan ini yaitu
adanya afiliasi dan elitisme. Afilisiasi menunjukkan suatu sikap yang baik
dengan mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta yang dibangun dengan
sahabat, kekasih, dan lain-lain. Sedangkan elitisme menunjukkan sikap yang
kurang terbuka dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain.
Generativity vs Stagnation (Generativitas vs Stagnasi)
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi
ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60
tahun. Masa Dewasa (Adulthood) ditandai adanya kecenderungan
generativity-stagnation. Sesuai dengan namanya masa dewasa, pada tahap ini
individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala kemampuannya.
Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga perkembangan
individu sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan kecakapan individu sangat luas,
tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan kecakapan,
sehingga tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas. Untuk mengerjakan atau mencapai hal– hal
tertentu ia mengalami hambatan.
Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap
ke enam terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini dan salah
satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara
sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa
(stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini
adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui generativitas
akan dapat dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman ini sangat
jauh berbeda dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan
sikap yang dapat digambarkan dalam stagnasi ini adalah tidak perduli terhadap
siapapun.
Maladaptif yang kuat akan menimbulkan sikap
terlalu peduli, sehingga mereka tidak punya waktu untuk mengurus diri sendiri.
Selain itu malignansi yang ada adalah penolakan, di mana seseorang tidak dapat
berperan secara baik dalam lingkungan kehidupannya akibat dari semua itu
kehadirannya ditengah-tengah area kehiduannya kurang mendapat sambutan yang
baik.
Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu
terjadinya keseimbangan antara generativitas dan stagnansi guna mendapatkan
nilai positif yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini
meliputi generasional dan otoritisme. Generasional ialah suatu
interaksi/hubungan yang terjalin secara baik dan menyenangkan antara
orang-orang yang berada pada usia dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan
otoritisme yaitu apabila orang dewasa merasa memiliki kemampuan yang lebih
berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala peraturan yang
ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan diantara orang dewasa
dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan baik dan menyenangkan.
Integrity vs Depair (Integritas vs Putus Asa)
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut
tahap usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65
ke atas. Masa hari tua (Senescence) ditandai adanya kecenderungan ego integrity
– despair. Pada masa ini individu telah memiliki kesatuan atau intregitas
pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah menjadi milik
pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak digoyahkan oleh usianya yang
mendekati akhir. Mungkin ia masih memiliki beberapa keinginan atau tujuan yang
akan dicapainya tetapi karena faktor usia, hal itu sedikit sekali kemungkinan
untuk dapat dicapai. Dalam situasi ini individu merasa putus asa. Dorongan
untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan kemampuan karena usia
seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusasaan acapkali
menghantuinya
Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada
tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang
menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan berupaya menghilangkan
putus asa dan kekecewaan. Tahap ini merupakan tahap yang sulit dilewati menurut
pemandangan sebagian orang dikarenakan mereka sudah merasa terasing dari
lingkungan kehidupannya, karena orang pada usia senja dianggap tidak dapat
berbuat apa-apa lagi atau tidak berguna. Kesulitan tersebut dapat diatasi jika
di dalam diri orang yang berada pada tahap paling tinggi dalam teori Erikson
terdapat integritas yang memiliki arti tersendiri yakni menerima hidup dan oleh
karena itu juga berarti menerima akhir dari hidup itu sendiri. Namun, sikap ini
akan bertolak belakang jika didalam diri mereka tidak terdapat integritas yang
mana sikap terhadap datangnya kecemasan akan terlihat. Kecenderungan terjadinya
integritas lebih kuat dibandingkan dengan kecemasan dapat menyebabkan
maladaptif yang biasa disebut Erikson berandai-andai, sementara mereka tidak
mau menghadapi kesulitan dan kenyataan di masa tua. Sebaliknya, jika
kecenderungan kecemasan lebih kuat dibandingkan dengan integritas maupun secara
malignansi yang disebut dengan sikap menggerutu, yang diartikan Erikson sebagai
sikap sumpah serapah dan menyesali kehidupan sendiri. Oleh karena itu,
keseimbangan antara integritas dan kecemasan itulah yang ingin dicapai dalam
masa usia senja guna memperoleh suatu sikap kebijaksanaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar